Rumah tak Berpintu

Rumah ini hanya untuk dihuni saya seorang diri;
Keempat sudut dindingnya bertemu satu sama lain namun bermusuhan,
ia tak berpintu.
masing-masing ingin berdenyut sendiri-sendiri,
bergetar-getar seisi rumah hingga meretak

Saya dan hanya saya yang menetap di sini,
ia tak berisi.
Saya menatap ribuan cermin yang
refleksinya merupakan jutaan bayang menyerupai apa
yang dikenal sebagai “Aku”

Rumah ini merindukan jendela yang tak pernah dimilikinya,
ia tak beratap namun merepih
langit yang dilukis Allah di rumah ini tak berbintang,
bulan tersenyum setengah hati,
dengki dengan surya meski paham ia mati tanpanya

Rumah ini berada di tepi tebing yang bebatuannya terkikis angin
Atau di pantai yang setiap malamnya lenyap terbawa pasang?
ia di mana? saya meragu..

Halaman rumah ini dipenuhi pertanyaan,
sedangkan kepala saya menyimpan jutaan pernyataan
akan segala apa yang mungkin ada mungkin tiada,
akan segala apa yang mungkin benar mungkin salah..

Rumah tak berpintu,
putih tak bertamu..

Hanya hantu di sudut pikir yang menjadi kawan,
banyak pertanyaan tak berjawab yang menjadi lawan.
Semakin mencari, saya semakin lari dari kemutlakan

15 September 2020

Sedalam gelap manik matanya kuingat ia berdendang,
pada kidung asing yang hanya dipahami Tuhan dan ia.

(an excerpt from one of my old short story)

 

saya ingin menjadi
hanya salah satu jalan
pada sekian persimpangan

menjadi
hanya salah satu kemungkinan
dalam ribuan kesempatan

hingga pada hari petang
dimana yang tersisa adalah lelah,
pada peristirahatan tersebut
hanya satu yang ingin saya ucapkan,

“Terima kasih telah bertahan”

aku.

Kepada aku yang sedang menjadi versi terbaik diriku kala ini,
hendaknya kau menjadi apapun yang kau ingin raih
hendaknya kau selalu merasa cukup menjadi apa yang kau inginkan
hendaknya kau melakukan hal-hal kecil yang mampu merubah dunia
hendaknya kau mendekatkan diri dengan orang-orang yang kau cintai

Kepada aku yang akan terus menjadi versi terbaik diriku pun esok hari,
hendaknya kau tahu kemana kau dapat selalu pulang
(bukan kepada massa, tetapi pada dirimu sendiri)
hendaknya kau ingat bagaimana kau pernah melewati hujan petir
‘tuk merayakan tujuh warna pelangi;
hendaknya kau terus percaya akan eksistensi perkara di semesta
yang dapat berjalan di luar kendali

Kepada diriku yang akan selalu menjadi versi terbaik diriku,
hendaknya kau tetap setuju bahwa tidak ada satupun yang hidup
yang mampu mencintaimu lebih dari dirimu sendiri
dan oleh karena itu, maafkan dirimu
pada apa yang kau lakukan maupun tidak kau lakukan;
hanya itu, kasih, cara terbaik ‘tuk berterimakasih

– 8 Juli 2019, Villatel Salse, Bandung

surat untuk tuan

Tuan, alangkah indahnya jika esok hari tidak lagi menjadi apa yang paling ditakutkanmu.
Sungguh menyenangkan jika  kesalahan bukan lagi apa yang paling mengkhawatirkanmu.
Dan ‘kan sangat kusyukuri jika kesalahan yang kau buat tidak lagi menjadikanmu takut ‘tuk mencoba kembali.

Tuan, setujukah?
Kala kau bahagia,
waktu berlari.

Kala kau sedih,
waktu berhenti.

Dan kala kau gundah akan esok hari,
waktu berjalan mundur.

prosa jujur.

Ia hanya ingin menjadi cukup
tidak titik tidak koma tanda baca yang perlu dalam fiksinya
hanya jeda

Ia hanya ingin menjadi ia
bukan dia bukan dirinya
hanya ia dan tanpa nama

Ia hanya tau bahagia
dari gumpalan awan menjelma hujan petir berakhir pelangi
yang ia tahu hanya terima kasih

Ia hanya ingin dikenang sebagai kumpulan kata-kata dalam puisi ini
sederhana dan tanpa nama
ia hanya ingin menjadi cukup

__ 8 Juli 2019, menyapa pagi di pukul 06:52

selamat menua

Untukmu yang terkasih,

Tuhan masih senang melihat kita bersama. 
Oleh karena itu, di antara perselisihan dan kebencian yang pernah ada, belum ada perpisahan yang benar-benar mendefinisikan perpisahan di antara kita.

Aku lebih sering menangis ketika harus menulis hal-hal yang kucinta darimu, dibanding pada apa yang kubenci dan mungkin pernah membuatku sangat tersakiti. Itu karena belum ada orang lain sebelum kamu yang membuatku merasa sangat dicintai dan diusahakan.

Aku, yang tidak semudah itu dihadapi,
yang kutahu sempat membuat darahmu naik hingga ulu hati.

Pada detik ini, di mana suara Sal Priadi asyik menyanyikan larik-larik lagu ‘Ikat Aku di Tulang Belikatmu’ pada sekitar pukul tiga pagi; aku tiba-tiba teringat bagaimana aku seringkali jatuh terlelap ketika kau sibuk berjuang mengantarku selamat hingga tujuan. Dan hingga akhirnya mataku terbangun dari tidur panjangnya dengan tepukan ringan di bahu, yang pertama kulihat adalah senyum-mu sewaktu mengucap “Yuk, sudah sampai.”.

Benar, ada banyak cara untuk mencintai. Ada banyak pula cara untuk menyampaikan cinta jika bukan melalui kata-kata. Mengingat sekurang-kurangnya 500 hari yang dilalui bersama, begitu banyak cara-mu menadakan kasih yang seringkali membuatku kehabisan kata.

Kasih, aku tidak tahu ombak sebesar apa yang menunggu kita di depan nanti;
tetapi jika suatu saat kau dan aku memutuskan untuk melanjutkan hidup pada dua garis berbeda, berbahagialah bahwa pernah ada waktu di mana kedua garis kita saling menyapa. Ingatlah bahwa apa yang kita miliki dan rasakan saat ini adalah nyata.

Dan menjalani hubungan pertamaku denganmu menjadi tanda, di mana untuk pertama kalinya dalam hidup aku tidak takut untuk menyayangi seseorang terlalu dalam.

Kata-kata yang tertulis selalu lebih mudah tersampaikan dibanding saat perlu diucapkan. Maka pada surat ini aku ingin mengingatkanmu selalu, bahwa satu hal yang selalu kurasakan untukmu adalah bangga. Melihatmu semakin hari semakin menjadi dirimu sendiri, terima kasih sebesar-besarnya telah membiarkanku mendampingimu sejauh ini.

Dirimu dengan hati yang begitu besar untuk orang-orang di sekitarmu, tekad begitu kuat untuk menjadi versi terbaik dirimu, dan kesedihan begitu dalam yang seringkali terlewat ‘tuk dipahami orang lain. Untuk segala sisi dirimu yang telah kau perlihatkan kepadaku, aku tahu dan aku mengerti. Oleh karena itu, kasih, ingatlah; di antara orang-orang yang mungkin pernah ada dan pernah menyakiti-mu begitu dalam, dengarlah hanya apa yang aku ucapkan dan percayalah. Aku memilihmu bukan hanya karena apa yang kau pahami, tetapi pada apa yang tidak dapat kau lihat di dirimu sendiri.

Untukmu yang terkasih,
terkadang ada kata-kata yang tidak terucapkan namun terasa,
terkadang ada kata-kata yang tidak diinginkan namun terucapkan,
namun aku paham jarak di antara kita jauh lebih dekat
dan lebih nyata dibanding kata-kata yang menjembatani kita.

Pada surat ini, aku tuliskan kata-kata yang mungkin belum pernah aku ucapkan kepadamu. Surat penuh dengan terima kasih dan sayang yang kurasa, yang mungkin belum sempat membuatmu merasa begitu dikasihi sebelumnya.

Selamat bertambah tua
untukmu yang terkasih.

__ 29 Januari 2019

Di petualangan panjang bernama hidup ini,
doaku selalu untukmu, kasih, ialah untuk menerima.
Dan sesederhana itu pula, kasih, kunci untuk bahagia.

Bersama denganmu,
kurasakan syahdunya dongeng asmara bulan dan matahari;
mereka begitu mencinta satu sama lain,
namun hanya dapat hidup jika salah satunya mati.

tikai.

Saya tak lagi mampu mengenalmu.

Dalam dekap senyawa yang bagimu
lebih bermakna dibanding nyawa;
saya tak lagi mampu mengenalmu.

Pada malam-malam bahagia di tengah
mabuk kepayangmu, jatuh cinta pada senyawa itu,
saya sungguh tak lagi mampu mengenalmu.

Hingga akhirnya,
pada hari di mana saya sadar akan
eksistensi monster menyerupaimu yang
perlahan mengintip di tengah sadar;
saya yakin betul tak lagi mampu mengenalmu,
dan cukuplah saya berusaha memadu lagu.

Selamat malam.

Sampai bertemu esok hari,
ketika (mudah-mudahan) saya mulai lagi mampu mengenalmu.

-13 Mei 2019
[sebuah kisah yang sangat personal]